24 Agustus, 2008


Ramadhan Sebagai Kapitalisme Spiritual
(Refleksi Kritis-Analitis Aktualisasi Nilai Keagamaan)
oleh: Moch. Muslih

Dikala matahari terbenam di ufuk barat, hiruk-pikuk manusia berlalu lalang, sebabkan kegelisahan jiwa-jiwa yang menunggu pergantian malam menuju pagi, pergantian hari dari bulan Sya’ban menuju bulan Ramadhan. Lalu apakah gerangan yang menyebabkan sebegitu dahsyatnya kegelisahan jiwa-jiwa tersebut menunggu pergantian Sang Bulan dan seberapa istimewakah Ia sehingga seluruh Jagad Semesta mengagung-agungkan Sang Tamu Agung. Yang jelas tak lain dan tak bukan karena Ramadhan memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga seluruh manusia bertasbih dan mentashihkan Bulan penuh berkah dan penuh Rahmat tersebut.


Berbagai potret dan kegiatan Ramadhan dari tahun ke tahun telah menghiasi pentas sejarah peradaban manusia. Dari ritual tarawih hingga tadarus Al-Quran di samping ibadah puasa sebagai aktifitas utama, bahkan berbagai kebutuhan pokok telah dipersiapkan sedemikian mewah yang disaji untuk hidangan sahur dan buka puasa. Dus diimbangi pula dengan maraknya demontrasi yang mengatasnamakan “Anti Kemaksiatan” mulai dari disegelnya tempat-tempat hiburan, operasi dan penggrebekan prostitusi, razia VCD porno serta razia minuman keras dan narkotika. Tak kalah menarik pula, hampir seluruh media komunikasi dan informasi secara latah menyajikan tayangan-tayangan bernuansa agamis, hal ini dapat kita lihat pada kemasan iklan atau produk-produk berlebelkan “Ramadhan”, sampai kepada background dan model iklan yang berbusana “Islami”, diantara banyaknya tayangan-tayangan lain yang diobsesikan untuk memeriahkan suasana Ramadhan. Tak hanya berhenti di situ, menjelang saat-saat berkhirnya Ramadhan, di antara sekian banyak manusia telah berambisi untuk menjadi “Hamba Tuhan Sejati” dengan membuktikan diri secara rela dan bersusah-payah menambah frekwensi ritual mereka, memenuhi panggilan berkah malam Lailatul Qadar, (malam yang lebih baik ari seribu bulan) dengan harapan mendapatkan seonggok pahala sebagai suku cadang kebajikan selama 83 tahun, begitu halnya tatkala detik-detik berakhirnya Ramadhan, fenomena hiruk-pikuk para tetangga yang saling bersilaturrahmi, tukar menukar kue, selamatan dan Hari Raya ketupat sampai kepada trend membeli baju baru merupakan tradisi masyarakat dari pintu ke pintu saat menjelang atau berakhirnya bulan Ramadhan.
Sekilas memang, sepintas lalu Ramadan seakan-akan memberikan kesan yang lebih bahkan padat penghargaannya, karena dalam durasi satu bulan penuh, seluruh manusia terobsesi untuk mengapresiasi bulan Ramadhan dengan segenap suka cita baik secara materil atau spiritual dan bahkan bulan tersebut dimitoskan mampu meluluh-lantakkan pernik-pernik kebiadaban dosa-dosa ummat manusia dari yang lampau, sekarang dan yang akan datang. Disinilah sebenarnya akan diuji sejauh mana apresiasi keagamaan kita berdasarkan kesadaran kritis (critical consiousness) dan tidak lagi berdasarkan kesadaran magic yang dogmatis (magical-dogmatic consiousness), karena apa yang seharusnya ada (das sein) dan apa yang serharusnya terjadi (das solen) adalah tentang bagaimana apresiasi keagamaan ummat manusia (khususnya ummat Islam) mampu melahirkan nilai spirit kesejarahan manusia dalam menghantarkan citra kediriannya sebagai Insan Taqwa, mengingat perintah Tuhan dalam melaksanakan ibadah puasa – sebagaimana termaktub di dalam al-Quran (al-Baqarah : 183) – bertujuan agar kita mampu mencapai kualitias ketaqwaan yang tinggi, dan pada saat itulah maka kata-kata “Taqwa” harus diterjemahkan dalam ranah kedaulatan ruang dan waktu yang tidak terbatas, karena pesan nabi: “bertaqwalah kalian di mana saja kalian berada dan imbangilah keburukan itu dengan perbuatan yang baik dan bergaullah dengan manusia di sekelilingmu dengan akhlak yang baik”. Maka di sini yang dimaksud bukanlah hanya formula keagamaan atau doktrinasi pemahaman yang ditawarkan, akan tetapi secara prinsipil bagaimana sikap keagamaan atau religiusitas kita tidak hanya mentashihkan budaya akhir tahun tersebut, sehingga dalam pandangan mendasar adalah sampai di mana kesanggupan kita sebagai ummat Islam yang telah ditempa selama 30 hari tidak hanya berhenti pada bulan Ramadhan, tetapi mampu melanjutkan 11 bulan berikutnya.
Dalam perspektif yang berbeda, mungkin selaras dengan analisa Herbert Marcuse pada tahun 1970-an mengenai karakter sosio-kultur masyarakat industri kapitalis yang terkena syndrome gejala weekend atau budaya “akhir pekan”, di mana identifikasi karakter manusia ditandai dengan ketidak mampuannya untuk berdaulat atas ruang dan waktu. Hari-hari dalam sepekan yang seharusnya diperlakukn seproporsional mungkin, hilang dalam sekejab untuk memenuhi kenikmatan sesaat. Para pekerja sibuk mengumpulkan uang, para birokrat menyelesaikan dinas keseharian mereka dan seterusnya, dengan satu maksud untuk berlibur dan demi kenikmatan sesaat di akhir pekan. Inilah yang disebut sebagai “Masturbasi Budaya”. Mungkin menjadi tidak akan berbeda bila halnya Ramadhan diperlakukan dalam konstruksi gejala weekend di atas dan sebagai ilustrasi, yang akan terjadi adalah:
Pertama: kecenderungan “eforia” masyarakat di bulan Ramadhan (hedonism life-style), menjadikan mereka bergaya hidup hedonis dan ummat yang hobi berbelanja (shopolic), di mana para suami sibuk bekerja siang malam, mengumpulkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sementara sang istri pun dengan tak kalah sibuknya menghabiskan uang belanja untuk membeli kebutuhan yang serba baru dan serba wah…, dan pengeluaran yang seharusnya menjadi lebih efisien – dikarenakan kebutuhan hidup menjadi sedikit terkurangi dengan adanya ibadah puasa di bulan Ramadhan – menjadi membludak lebih besar daripada pemasukan (income) yang didapat dikarenakan gejala eforia di atas. Alangkah indahnya bilamana kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa diperlakukan seproporsional mungkin, dalam konteks itulah seharusnya ibadah puasa dapat melatih jiwa kepekaan sosial kita dalam menyantuni fakir miskin, anak yatim dan terlentar, serta orang-orang jompo. Mengingat bahwa kondisi obyektif masyakat kita dalam konteks ekonomi misalkan 60% dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, berada dalam garis kemiskinan dan 20% dari 60% hidup dalam kemiskinan absolut. Dalam aspek pendidikan, diperkirakan kader bangsa kita semakin hari dari waktu ke waktu tidak lagi bertambah sumber daya manusianya, belum lagi berbicara mengenai HAM, hukum, politik dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sebagai kearifan anak bangsa mereka telah menunggu uluran tangan saudara-saudaranya yang mampu, dan bahwasanya zakat fitrah adalah pendidikan di bulan suci Ramadhan agar kita lebih memiliki jiwa peka sosial dan gemar dalam berinfaq, beramal dan bershadaqah.
Kedua: spirit atau semangat religiusitas ummat yang musiman karena sesungguhnya Ramadhan yang mendapatkan porsi yang lebih dan padat daripada bulan-bulan selain Ramadhan tidaklah harus dipahami sebagai yang menyediakan konstruksi ruang dan waktu secara istimewa dalam kaitannya dengan ibadah seperti puasa., zakat dan lain sebagainya. Karena apalah arti segala aktifitas ritual peribadatan yang hanya dilaksanakan secara temporal, begitu halnya dengan semangat suci yang mengatasnamakan “anti kemaksiatan” walaupun dengan maksud sekedar menghormati bulan suci Ramadhan jikalau sesudahnya, kembali pintu-pintu kemaksiatan dibuka selebar-lebarnya. Dan menjadi tidak bermakna, segala sosialisasi dan sanjungan terhadap bulan suci Ramadhan yang disebarkan melalui media massa dan lain sebagainya, jikalau ceremonial Ramadhan tak ubahnya “Reality Show” yang dinikmati sekedar untuk memuaskan kebutuhan Konsumen Pertelivisian dan media massa lainnya sehingga acapkali tampilan budaya yang sangat paradoks ini kita masukkan dalam kolong masturbasi religius ataupun kapitalisme spiritual. Oleh karena itu, berbagai tuntunan amal kebajikan dari Tuhan dalam pesan suci-Nya dan segala kemampuan kita untuk menjalankannya sepatutnya tidak tereksploitasi oleh ruang dan waktu dan karenanya jadikanlah bulan Ramadhan ini sebagai wahana aktualisasi diri untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Sebagai renungan, pernah suatu kali Amirul Mukminin Kholifah Umar Ibn Al-Khattab berujar: “sesuatu yang aku takutkan kelak menimpa ummatku di akhir zaman nanti adalah banyaknya orang sholeh yang hidup dalam komunitas orang-orang yang dzalim tetapi mereka tidak berdaya guna (tak mampu berbuat apa-apa), sementara di sisi lain banyak orang dzalim yang hidup di tengah komunitas orang-orang yang sholeh dan mereka menjadi penguasa yang lalim, tiran yang haus darah serta konglomerat-konglomerat lintah darat”. Pesan ini sekiranya memberikan semacam “Warning” bahwasanya menjadi insan taqwa tidak cukup hanya kompetisi spiritual yang qualified, tetapi lebih dari itu, ia mampu menjadi penentu perubahan (trend setter) di manapun dan kapanpun ia berada apatah lagi di tengah bergejolaknya krisi-krisi multidimensi terutama krisis moral, bukankah Rasul menyatakan bahwasanya mukmin yang kuat, lebih berharga daripada mukmin yang lemah dalam arti yang lebih spesifik: “sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat untuk manusia lain (sholeh berdayaguna)”.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com