07 September, 2008

KEHIDUPAN


“Pelajarilah Ilmu,
karena mempelajarinya karena Allah adalah khasyah,
menuntutnya adalah ibadah,
mempelajarinya adalah tasbih,
mencarinya adalah jihad,
mengajarkan kepada orang yang tidak mengetahui adalah shodaqah,
menyerahkan kepada ahlinya adalah taqorrub,
ilmu adalah teman dekat dalam kesendirian
dan sahabat dalam kesunyian”.
(Muadz bin Jabal RA.)

Hidup ini luar biasa, apapun bentuknya dan dinamikanya
dimulai dari hal yang sederhana yaitu kata-kata.
Kata diucapkan dan dilupakan. Dari kata dapat berjanji.
Kata dapat memberi semangat. Lebih dari itu,
perkataanmu dapat membuatku terpana.

Sesuatu baru tercipta dalam diri seseorang selayaknya
menimbulkan asosiasi baru. Waktu menjadi proses
sentral dan belajar menjadi kunci utama.
Pembelajaran adalah perubahan bila dalam kurva waktu tidak ada yang berubah berarti ada pelajaran sejati.

Selengkapnya....

25 Agustus, 2008


Eksistensi Manusia

Konsep Dasar Manusia dalam Islam
Telah diakui oleh para ilmuwan, bahwa manusia adalah makhluk yang unik, makhluk yang multidimensi, makhluk yang sulit untuk ditemukan hakekatnya. Hal ini mengakibatkan berbagai macam diskursus dan telaah tentang manusia tersebut yang selalu menjadi perdebatan. Para filosof, sufi dan mereka yang berada dalam sudut kajian memilih pandangan yang berbeda tentang manusia. Karena itu, untuk menghindari perdebatan di atas, penulis ingin mengkaji manusia dari sudut pandang Islam secara universal yakni berakar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an.



Al-Qur’an memberikan informasi tentang manusia dengan bermacam warna diantaranya adalah manusia sebagai makhluk bumi1 dan makhluk terhormat.2 Dalam Al-Qur’an pula manusia berulangkali diangkat derajatnya. Berulangkali pula direndahkan derajatnya. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Tetapi pada saat yang sama mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahannam. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga merosot menjadi yang paling rendah dari segala yang paling rendah. Oleh karena itu, manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri.
Di dalam berbagai literatur yang membahas tentang manusia lebih banyak tentang kedudukan manusia di alam semesta dan selalu bahasan itu dihubungkan dengan konsep kekhalifahan, dan konsep ibadah sebagai bentuk manifestasi tugas kekhalifahannya. Dalam al-Qur’an banyak istilah yang digunakan untuk penyebutan manusia yang kesemuanya merujuk pada satu pengertian tentang identifikasi manusia, akan tetapi istilah-istilah tersebut memiliki maksud yang berbeda-beda. Adapun nama-nama yang dimaksud antara lain: al-insan, al-nas, al-basyar, Bani Adam, ‘abd Allad, dan khalifah.
Adapun Quraish Shihab3 hanya memfokuskan pada tiga istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk manusia, yaitu Insan, Basyar, dan Bani Adam atau Dzuriyat Adam. Kata Insan sendiri terambil dari akar kata Ins yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an, ia terambil dari akar kata nasiya yang berarti lupa atau nasa-yanusu, berguncang.4 Kata insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara satu dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.5
Pertumbuhan dan perkembangan tersebut, menurut Jalaluddin,6 antara lain meliputi kemampuan untuk berbicara,7 menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu,8 dan kemampuan untuk mengenal Tuhan.9 Potensi untuk mengembangkan diri (yang positif) memberikan peluang kepada manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaniyahnya secara optimal. Dengan cara menumbuhkembangkan potensi yang dimilikinya tersebut secara optimal, diharapkan manusia dapat menjadi makhluk ciptaan yang senantiasa mengabdi kepada penciptanya, melalui berbagai kemampuan inovatif dan kreativitas yang dimilikinya.
Potensi manusia menurut konsep al-insan, diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Dari kreativitasnya itu manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan-kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan). Kemudian melalui kemampuan berinovasi manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang yang kemudian ia kembangkan menjadi ilmu pengetahuan baru. Dengan demikian manusia menjadikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan berperadaban.
Terkait dengan potensi inovasi dan kreativitasnya, dari analisis kebahasaan kata insan merujuk pada suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap lahir dari adanya kesadaran penalaran. Menurut Musa Asy’ari, yang dikutip oleh Bashori, mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar, baik secara sosial maupun alamiah.10
Muhammad Tholchah Hasan menegaskan, bahwa kata al-insan dipakai untuk menyebut manusia dalam konteks kedudukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Pertama, manusia sebagai makhluk berpikir. Kedua, makhluk pembawa amanah. Ketiga, manusia sebagai makhluk yang bertanggungjawab pada semua yang diperbuat. Tiga hal itu merupakan keistimewaan manusia yang hampir selalu disebut oleh al-Qur’an dengan menggunakan al-insan.11 Hal ini dapat kita lihat ketika Tuhan menawarkan amanat kepada alam, yang sanggup menerimanya adalah manusia.12
Sedangkan kata basyar, digunakan untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Selain itu juga menjelaskan bahwa proses kejadian manusia melalui tahapan hingga menjadi tahap kedewasaan. Dengan demikian basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab.
Dalam formulasi lain, Muhaimin membagi manusia ke dalam tiga kategori,13 yaitu: pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar) pada hakekatnya tidak berbeda dengan makhluk biotik lainnya walaupun struktur organnya berbeda,14 karena struktur organ manusia memang lebih sempurna dibandingkan makhluk-makhluk lain.15
Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah,16 qalb,17 dan aql.18 Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya19 yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya artinya apabila potensi psikis tersebut tidak digunakan manusia tak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina.20 Sedangkan bentuk insaniyahnya (humanism) terletak pada iman dan akalnya.21
Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial terhadap alam semesta. Karena manusia berfungsi tidak hanya sebagai abdullah tetapi juga sebagi khalifatullah22 untuk mewujudkan kemakmuran dan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.23
Selain tiga kategori di atas, Muthahhari memberikan uraian lebih rinci,24 yaitu: pertama, dibandingkan dengan semua makhluk yang lain manusia memiliki kapasitas intelegensi yang lebih tinggi, karena Allah mengajarkan segala nama benda kepada Adam,25 kemudian mengemukakannya kepada malaikat dan malaikat tidak mengetahuinya, maka Adam mengajarkan nama-nama benda kepada malaikat. Ini menunjukkan bahawa Adam lebih mengetahui daripada malaikat
Kedua, manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu mengakui kebenaran Tuhan (hanif). Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan. Jadi segala keraguan dan keingkaran Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah itu sendiri.26
Ketiga, manusia bersifat bebas dan merdeka. Karena mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para Nabi dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, mereka pun bebas di dalam memilih, kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya.27
Keempat, manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan pada kenyataannya, telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan, dari segala jenis kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu
Kelima, Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada diri mereka.
Keenam, Manusia tidaklah semata-mata tersentuh oleh motivasi duniawi saja. Dengan kata lain, kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya stimulus baginya. Lebih dari itu, mereka selalu berupaya untuk meraih cita-cita dan inspirasi-inspirasi yang lebih luhur dalam hidup mereka. Dalam banyak hal, manusia tidak mengejar satupun tujuan kecuali mengharap keridlaan Allah.28
Manusia, juga dibekali Allah dengan sifat baik dan buruk. Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa sifat manusia yang baik, diantaranya: ikhlas,29 berlaku adil,30 menepati janji atau tidak khianat,31 dan tidak emosional.32 Secara rinci sifat-sifat manusia dapat disebutkan sebagai berikut: jujur, pemaaf, tekun, malu, ikhlas, sabar, syukur, belas kasih, rajin, berani menyatakan kebenaran, senantiasa berpikir untuk kebaikan, tidak sombong, tidak serakah, menghargai orang lain, tidak mementingkan diri sendiri dan beriman. Adapun sifat-sifat buruk yang melekat pada diri manusia itu adalah lemah,33 berkeluh kesah,34 ingkar dan dzolim,35 serta angkuh/sombong.36
Muhammad Mahmud, sebagaimana yang dikutip Munzir Hitami, menjelaskan manusia dari aspek kepribadiannya, ia menyatakan bahwa Islam sesungguhnya memiliki yang mandiri tentang kejiwaan dan kepribadian. Manusia terdiri dari fisik, akal, dan ruh, yang didasarkan pada pernyataan al-Qur'an dalam surah al-Sajadah/32: 7-9. Unsur-unsur fisik khusus sebagai sarana pemecahan dorongan-dorongan yang bersifat bawaan serta pemenuhan dorongan-dorongan primer yang bersifat eksternal, atau sosial sesuai dengan adapt, tradisi, dan nilai-nilai. Akal merupakan sarana untuk memenuhi dalam membantu manusia pada tingkat yang sederhana untuk mencapai cara-cara yang terbaik dalam memenuhi dorongan-dorongan tersebut di atas, dan pada tingkat yang lebih tinggi memecahkan segala persoalan kehidupan manusia; sedangkan ruh merupakan potensi fitrah dan kekuatan nurani yang bersifat rabbaniy yang dapat membantu manusia dalam mewujudkan tujuan yang lebih mulia dalam kehidupan berupa kesucian dan kewajiban.37
Muhammad Naquib al-Attas dengan lebih sederhana merumuskan manusia sebagai makhluk yang mempunyai dua dimensi (has a dual nature), yaitu jasad dan ruh. 38 Unsur jasad dan ruh dapat membentuk seorang manusia yang diciptakan dengan tujuan tertentu. Konsep ini lebih merupakan konsep mono-duality tentang manusia karena sesungguhnya manusia, merupakan satu hakikat atau esensi yang mempunyai dua dimensi tersebut.
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, langit dan bumi. Dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan, yaitu cenderung melakukan kebaikan dan juga kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu tidak menghapuskan kegelisahan mereka kecuali dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya.
Kapasitas manusia tidak terbatas baik dalam kemampuan belajar maupun dalam penerapan ilmu. Manusia memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong manusia dalam banyak hal tidak bersifat kebendaan. Akhirnya manusia dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepadanya, namun pada saat yang sama mereka harus menunaikan kewajibannya kepada Tuhan.
Mengenal Ihwal Fitrah Manusia
Secara etimologis, asal kata fitrah dari bahasa Arab yaitu fitratun jamaknya fitarun, artinya perangai, tabiat, kejadian asli, agama, dan ciptaan. Fitrah juga terambil dari akar kata al-fathiral yang berarti belahan. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta atau kejadian.39
Ayat-ayat al-Qur'an yang menyebutkan kata fitrah terdapat dalam 17 surat. Di antara ayat yang banyak diperhatikan dalam usaha mencari pengertian fitrah, yaitu QS. al-Rum/30: 30 :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym 4 |Nt�ôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# t�sÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 š�Ï9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
“Pemaknaan terhadap istilah fitrah tersebut “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.40 (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Dalam beberapa kitab tafsir terdapat beberapa makna yang beragam, di antaranya ialah, fitrah berarti agama, kejadian; fitrah Allah berarti ciptaan Allah; fitrah berarti ciptaan, kodrat jiwa, dan budi nurani; fitrah berarti mengakui keesaan Allah (al-tauhid);41 fitrah berarti ikhlas;42 dan fitrah yang berarti potensi dasar manusia.43
Menurut al-Ghazali, makna fitrah adalah dasar manusia sejak lahir. Fitrah menurutnya mempunyai keistimewaan-keistimewaan, yaitu: (a) beriman kepada Allah; (b) mampu dan bersedia menerima kebaikan dan keturunan (dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran); (c) dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya untuk berfikir; (d) dorongan-dorongan biologis berupa syahwat, ghadlab, dan tabiat (instinct); dan (e) kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.44
Berkaitan dengan fitrah manusia, Muthahhari menyatakan:
“…fitrah manusia merupakan bawaan alami. Artinya, ia merupakan suatu yang melekat dalam diri manusia (bawaan), bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha (muktasabah). Fitri mirip dengan kesadaran. Sebab manusia menyadari bahwa dirinya mengetahuai apa yang dia ketahui. Artinya, dalam diri manusia terdapat sekumpulan hal yang bersifat fitrah dan dia tahu betul tentang hal itu”.45
Muthahhari membedakan antara naluri dan fitrah. Naluri berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik, sedangkan fitrah berkaitan dengan masalah-masalah yang disebut dangan urusan kemanusiaan.
Dalam diri manusia terdapat kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan yang bersifat pilihan dan berdasarkan kesadaran, dan yang disebut “perikemanusiaan” sesungguhnya tak lain adalah kecenderungan-kecenderungan tersebut. Muthahhari menyusun kecenderungan-kecenderungan tersebut menjadi lima bagian,46 yaitu:
Pertama, mencari kebenaran. Mencari kebenaran adalah sesuatu yang biasa disebut dengan istilah pengetahuan. Dorongan ini terdapat dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa adanya. Artinya, manusia ingin memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran adalah sesuatu yang dimaksud dengan istilah hikmah atau falsafah. Manusia tidak cenderung pada filsafat kecuali karena adanya kecenderungan dan dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat berbagai benda, sehingga dapat disebut dengan kesadaran filosofis atau pencarian kebenaran.
Kedua, moral (akhlak). Berpegang pada nilai-nilai moral tergolong pada kategori nilai-nilai utama yang disebut dengan akhlak yang baik. Manusia mempunyai kecenderungan terhadap banyak hal, diantaranya adalah yang bisa memberi manfaat secara fisik kepadanya. Lebih luas, manusia mempunyai kecenderungan itu bukan hanya kerena hal-hal itu bermanfaat baginya, tetapi karena hal-hal itu merupakan suatu keutamaan dan kebajikan, dalam arti ia tergolong sebagai kegiatan spiritual. Manfaat adalah kebaikan materil, sedangkan keutamaan adalah kebaikan spiritual. Manusia menyukai kejujuran karena ia baik, dan membenci kebohongan karena ia bertentangan dengan kejujuran. Ketergantungan terhadap kejujuran, amanah, ketaqwaan, dan kesucian termasuk ketergantungan terhadap keutamaan.
Ketiga, estetika. Manusia tertarik secara total pada keindahan, baik keindahan dalam ahklak maupun dalam bentuk. Karena itu, manusia selalu berusaha menampilkan keindahan dalam hidupnya
Keempat, kreasi dan penciptaan. Manusia selalu terdorong untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Kreatifitas dan daya pikirnya diaktualisasikan dalam bentuk yang berbeda, dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau masyarakat.
Kelima, kerinduan dan ibadah. Kategori ini memberikan penjelasan bahwa kerinduan mampu memusatkan perhatian seseorang pada titik yang menjadi pusat perasaan yaitu sesuatu yang dirindukan. Dengan kerinduan tersebut, seseorang dapat memperoleh kondisi “menyatu” dengan orang yang dirindukan. Kerinduan dapat mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang disitu dia ingin menjadikan ma’syuq (yang dirindukan) sebagai Tuhan (sesuatu yang dipuja) dan dirinya sebagai hamba-Nya. Dengan demikian, dia melihat ma’syuq-nya dengan al-wujud, yakni al-wujud al-mutlaq (yang mutlak ada).
Senada dengan di atas, Muhaimin menjelaskan, bahwa fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang dibawa sejak lahir dan berpusat pada potensi dasar untuk berkembang. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh dan menggerakkan seluruh aspek menuju ke arah tujuan tertentu. Aspek-aspek fitrah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis dan responsif terhadap perubahan lingkungan sekitar. Adapun komponen-komponen dasar tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: pertama, bakat, yaitu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu pada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan.
Kedua, gharizah (insting), suatu kemampuan berbuat tanpa melalui proses belajar mengajar (dalam psikologi pendidikan disebut kapabilitas).
Ketiga, nafsu dan dorongan-dorongannya, yaitu nafsu lawwamah yang mendorong ke arah perbuatan tercela dan merendahkan orang lain, nafsu amarah yang mendorong ke arah perbuatan yang merusak, nafsu birahi yang mendorong perbuatan seksual dan nafsu muthmainnah (religius) yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan.
Keempat, karakter atau tabiat. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral, sosial serta etis seseorang yang terbentuk dari dalam diri manusia.
Kelima, heriditas atau keturunan, merupakan faktor menerima kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan filosofis yang diwariskan orang tuanya, baik dalam garis yang dekat maupun dari garis yang telah jauh.
Keenam, intuisi, kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi ini menggerakkan hati manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus di luar kesadaran manusia, namun mengandung makna yang konstruktif.47 Filosof Perancis Bergson, memandang intuisi sebagai elemen élan vital (kekuatan pokok) yang mendorong manusia berfikir dan berbuat.48
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat di dalam fitrah manusia (human nature) berpusat pada kemampuan berpikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan yang benar secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat.
Peran Manusia dalam Kehidupan
Di atas telah dijelaskan dari aspek kualitasnya, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk terbaik dan mulia yang ada di muka bumi,49 disamping itu sekaligus berfungsi untuk mengemban amanat, mengisyaratkan bahwa manusia adalah mahkluk terhormat dan fungsional. Artinya, bukan hanya sebagai “barang hiasan” di bumi, tetapi memiliki peran dan tanggung jawab untuk melestarikan bumi.
Dalam beberapa ayat juga disebutkan bahwa manusia memiliki kehidupan ideal, dan dari kehidupan ideal itu manusia didorong kepada kehidupan riil agar ia dapat teruji sebagai makhluk fungsional.50 Maksudnya, hidup atau kehidupan riil adalah hidup di bumi sekaligus mati di bumi. Dalam kaitan ini menurut konsepsi Al-Qur’an manusia juga sering disebut sebagai khalifah dalam pengertian kuasa (mandataris, bukan penguasa). Dalam status itulah manusia terkait dengan berbagai hak, kewajiban, serta tanggung jawab, yang semuanya merupakan amanah baginya.
Kemuliaan manusia ini menunjukkan bahwa manusia dibanding dengan makhluk lain memiliki keistimewaan yang membawanya kepada kedudukan yang istimewa pula, yaitu sebagai khalifah. Dalam kedudukan ini manusia diberi wewenang untuk membangun dan mengembangkan dunia baik secara sendiri-sendiri (individualistik) maupun bersama-sama (sosial). Ada banyak ayat yang menunjukkan hal tersebut, diantaranya adalah sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat al-Zukhruf/43: 32 dan al-Hujurat/49: 13.
Dalam kaitan ini manusia ditampilkan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang saling terkait antara satu dengan yang lain, sebagaimana halnya dua sisi mata uang. Sebagai mahkluk sosial ada prinsip-prinsip yang perlu dipahami, yakni persamaan,51 keadilan,52 persaudaraan, dan toleransi.53 Semua ini menunjukkan prinsip hidup manusia sebagai makhluk sosial, tetapi prinsip-prinsip itu sendiri tidak berarti apa-apa, jika tidak didukung oleh kualitas individu yang memadai. Dengan kata lain, kualitas individulah yang menentukan pengembangan kualitas sosial manusia.
Manusia mampu berperan menentukan nasib mereka sendiri. Peran ini dilakukan secara sadar dan melalui kehendak bebasnya, artinya manusia dapat menentukan masa depannya atas dasar pengetahuannya tentang diri, kehidupan di sekeliling mereka dan berdasarkan intelektualitas serta pemeliharaan diri secara baik.
Lingkup tindakan manusia dalam mewujudkan peran itu mencakup tiga karakteristik yang ada dalam sifat manusia. Pertama, keluasan wawasan dan kesadaran manusia. Manusia mampu mengembangkan cakupan wawasannya melalui perangkat pegetahuannya mereka mampu mempelajari hukum-hukum dan peraturan alam, sehingga memungkinkan mereka menempatkan alam semesta dan kehidupan manusia pada suatu perangkat yang lebih tinggi. Kedua, memiliki keluasan wilayah yang dapat dicakup oleh kehendak manusia. Ketiga, kemampuan inheren untuk membentuk diri adalah milik ekslusif manusia, tidak ada mahkluk lain yang menyandang kemampuan ini. Dengan demikian, hanya manusia sajalah yang melalui hukum-hukum penciptaan, dikaruniai kemampuan menyusun pedoman bagi dirinya, untuk mencapai masa depan seperti yang mereka kehendaki.54
Islam menggambarkan manusia sebagai sebaik-baik ciptaan yang diberi mandat menjadi khalifah di bumi sekaligus sebagai Abdullah. Untuk melaksanakan amanat tersebut, Tuhan memberi potensi dalam dirinya yang berupa potensi ruhani yang meliputi fitrah ketuhanan, akal, dan qalb, disamping itu juga mempunyai potensi fisik yang berupa panca indera. Karena secara kategoris manusia adalah makhluk biologis (al basyar), psikis-spiritual (al insan), dan sosial (khalifatullah fil ardl). Manusia adalah makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi yang dalam dirinya tertanam sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, dan mempunyai tanggung jawab akan dirinya dan alam semesta (lingkungannya). Dalam diri manusia juga ada fitrah, bawaan alami yang berupa kesadaran yang selalu mengarah kepada proses pencarian kebenaran (hanif), kesadaran moral (akhlak), estetika, kreasi dan kerinduan kepada kebenaran absolut (Tuhan).
Manusia Ditengah Arus Modernisasi Dan Westernisasi
Manusia adalah jagat kecil, suatu mikrokosmos yang menjadi cermin dari jagat besar (makrokosmos) yang meliputi seluruh alam semesta. Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan yang dikirim ke bumi untuk menjadi kholifah-Nya. Oleh karena itu, setiap aktivitas manusia yang memberi atau mendatangkan manfaat bagi sesamanya akan mempunyai nilai kebaikan dari keseluruhan kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan makna kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam. Manusia adalah parameter kosmis, baik buruknya kosmis bergantung bagaimana manusia memposisikan dirinya sebagai pelaku sejarah.
Manusia terdiri dari individu yang independen. Individu-individu tersebut nantinya akan mempertanggungjawabkan seluruh aktivitas keindividuannya kepada Tuhan. Karena pada awalnya manusia diciptakan sebagai sebuah pribadi-pribadi yang utuh tanpa adanya distorsi keindividuannya. Masing-masing individu itulah yang akhirnya dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk moral dan sosial yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada pribadi-pribadi yang lain. Di dalam al-Qur’an terdapat penegasan-penegasan bahwa kelak di akhirat kita akan menghadapi pengadilan ilahi mutlak sebagai pribadi.
Dan Sesungguhnya kamu datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang Telah kami karuniakan kepadamu; dan kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. sungguh Telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan Telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).55
Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa pada hari kiamat nanti manusia tidak bisa menolong atau ditolong oleh orang lain meskipun mereka adalah anaknya ataupun orang tuanya.
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.56
Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.57
Tiga ayat di atas menunjukkan betapa Allah benar-benar menekankan individualitas sebagai sarana penumbuhan independensi serta kebebasan individu untuk selalu melakukan yang terbaik bagi dirinya, karena semua akan kembali pada individu-individu itu sendiri, baik ataupun buruknya.
Kebebasan pribadi itulah pada akhirnya menimbulkan sebuah sikap dinamis dan kreatif serta menyebabkan hidup ini lebih berguna dan berarti bagi tiap-tiap individu. Karena itu, kehidupan yang utuh, integral dan memenuhi fungsi kekholifahan kemanusiaan universal di bumi berpangkal dari kebebasan nurani.58
Seorang manusia harus dibiarkan bebas bereksperimen dengan kebebasan hati nurninya sendiri, kebebasan untuk menerima atau menolak sesuatu yang baik atau yang buruk, benar dan salah, dengan kesediaan menanggung segala resiko. Sebab yang benar telah jelas berbeda dari yang salah, yang sejati jelas berlainan dengan yang palsu. Manusia dalam suasana kebebasan dan kejujuran hati nuraninya (fitrah) akan mammpu membedakan, menangkap dan mengikuti mana yang benar dan salah yang salah, mana yang sejati dan mana yang palsu.
Pandangan mengenai manusia memiliki akar-akarnya dalam Islam. Bahwa Islam sendiri adalah agama kemanusiaan dan sangatlah tidak benar ketika terjadi dehumanisasi yang berupa hegemoni dan eksploitasi terhadap sesama manusia. Manusia memiliki kecenderungan untuk benar (hanif), karena secara alami manusia itu suci kalau manusia mau menyandarkan kemanusiaannya kepada kebenaran transenden (perenial) sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat al-Rum: 30 di atas. Dalam firman tersebut ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia itu mengarah kepada kebenaran (hanif) sesuai dengan kejadiannya yang fitrah. Manusia akan mampu menemukan kebenaran jika menyadari eksistensi kemanusiaannya (existence cociousness) dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai spiritual transenden ketuhanan (God consiousness).
Modernisasi dengan berbagai konsekuensinya seperti globalisasi, industrialisasi, konsumerisasi dan sebagainya, telah membawa manusia kepada krisis multidimensional kemanusiaan. Krisis manusia modern tersebut dalam skala kehidupan masyarakat yang menggambarkan kemunduran (regress), sebagai lawan dari kemajuan (progress) menjadi kenyataan social yang tak terbantahkan. Haidar Nashir menyebut bahwa saat ini terdapat kerusakan dalam jalinan struktur prilaku manusia di dalam kehidupan masyarakat.59 Pertama, kerusakan yang berlangsung pada level individu yang berkaitan dengan persepsi, motif dan respon, termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Kedua, berkaitan dengan norma yang erat kaitannya dengan kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan prilaku manusia yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessness). Ketiga, kerusakan yang berkaitan dengan level kebudayaan. Krisis ini berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut dengan gejala kesenjangan kebudayaan (cultural lag), yakni bahwa nilai-nilai dan pengetahuan yang bersifat materialis tumbuh pesat jauh melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, hingga masyarakat kehilangan keseimbangan kehidupan (life balance).
Dalam masyarakat modern juga muncul berbagai macam penyakit mental (mental illness). Salah satunya adalah munculnya penyakit keterasingan (alienasi). Ada banyak alienasi yang diderita oleh manusia modern, antara lain: pertama, alienasi ekologis, yaitu gejala kerusakan dan ketamakan manusia dalam mengeksploitasi berbagai kekayaan alam untuk kepentingan pribadi, tanpa peduli terhadap kelngsungan hidup dimasa depan bagi semua orang. Kedua, alienasi etologis, yaitu sebuah sikap yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan dan hakikat diri hanya karena merebutkan materi dan mobilitas kehidupan duniawi. Ketiga, alienasi masyarakat, yaitu retaknya hubungan social yang berimplikasi terhadap adanya disintegrasi sosial, hingga melahirkan konflik yang tak berkesudahan. Keempat, alienasi kesadaran, alienasi ini ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan dengan menafikan rasa dan akal budi.60
Hilangnya spiritualitas yang menjangkiti mental psikologis masyarakat diawali oleh munculnya aliran rasionalisme, sekularisme, materialisme, pragmatisme, positivisme, dan akhirnya ateisme. Nilai-nilai ketuhanan telah dimasukkan ke tong sampah. Tuhan diusir jauh-jauh dari kehidupan manusia modern. Sejak Nietzsche memproklamirkan sebuah aforisme tentang kematian Tuhan, atau ketika Sartre menyebarkan filsafat eksistensialisme ateis, atau ketika Ledwig Feuerbach menanamkan dilema ilmu pengetahuan dan filsafat tentang Tuhan sebagai hasil konstruksi pemikiran manusia, ketika Karl Marx atau Marxisme ekstrem menafikan kehadiran agama dan Tuhan melalui filsafat materialisme sejarah yang akhirnya berkesimpulan bahwa agama adalah candu, ketika Sigmund Freud menyatakan bahwa agama hanyalah halusinasi, juga ketika para ilmuwan sekuler Barat lainnya mendengungkan lagu Agnostisme yang mengabaikan agama dan kehadiran Tuhan dalam kehidupannnya. Hal-hal sacral yang berfungsi sebagai sublimasi dan pengokohan eksistensi dan misi kehidupan manusia yang besifat luhur, berubah dan digantikan dengan hal-hal yang serba rasional, sehingga terjadilah dekonstruksi transendensi kognisi manusia (sekularisasi alam batin) secara serius.61
Mengapa kehidupan manusia dan masyarakat modern terserat pada prahara tersebut? Shariati menarik akar permasalahan pada dimensi system kemasyarakatan dan ideology dari kebudayaan modern yang kini dominan di hampir seluruh penjuru dunia. Pusat petaka itu adalah kebudayaan materialisme-pragmatisme-positivisme sekuler serta humanisme-antroposntrisme yang mengubur agama dan Tuhan. Pertumbuhan dan perkembangan alam pikiran manusia modern itu sebenarnya bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) seperti individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan egaliter yang berkiblat pada manusia (antroposentris). Humanisme-antroposentrisme menempatkan manusia sebagai pusat segala-galanya sebagai lawan dari dan menggantikan alam pikiran teosentrisme (Tuhan). Pemisahan dan pertentangan antara humanisme dan agama di Barat akibat adanya persimpangan jalan antara pemimpin agama dan filosuf di masa awal kebangkitan kembali (renaissance) itu amat disayangkan, sebab humanisme itu kemudian tumbuh dan berkembang lepas dari bimbingan keruhanian, puncaknya adalah komunisme.62
Pernyataan yang menyatakan penolakannya terhadap agama dilakukan oleh Comte. Comte membagi fase perkembangan manusia dalam tiga fase; teologis, metafisis, dan positif. Hal-hal yang bersifat teologis dan metafisis tidak dibutuhkan lagi bagi manusia modern. Orang-orang modern butuh terhadap hal-hal yang mempunyai nilai guna praktis dan empiris serta verifikatif, sehingga agama dan Tuhan perlu dibuang jauh-jauh dari pikiran manusia, karena hanya akan menghambat kemajuan umat manusia. Pemisahan antara kehidupan duniawi (material) dengan agama (spiritual) kiranya yang menjadi penyebab dekadensi moral dan mental manusia modern. Kemajuan material yang tumbuh dan berkembang dengan pesatnya, bukan malah membuat mereka merasakan kenyamanan hidup (meaningfull life), akan tetapi membuat mereka merasakan kehampaan hidup (meaningless life) karena kering kerontangnya aspek-aspek holistic ketuhanan.
Manusia modern menjadi manusia amoral, individualis, dan hedonis. Kejahatan merajalela, alkoholisme, free sex dan pergaulan bebas sudah menjadi hal yang biasa. Kejahatan-kejahatan moral ini bukan cuma menjadi penyakit individu, akan tetapi telah menjadi penyakit kolektif yang terbukti dengan munculnya organisasi-organisasi resmi kemaksiatan seperti persatuan lesbian, kaum homo dan sebagainya, yang bahkan mendapatkan legitimasi konstitusional dari pemerintah. HAM dijadikan justifikasi kemesuman. Kebebasan dijadikan perisai kemaksiatan. Itulah kiranya potret dari sekelumit dekadensi moral di “Barat” yang terjerumus kedalam lumpur kehancuran moral, karena kehidupan mereka dibimbing oleh humanisme-sekulerisme-ateistik. Semua ini terjadi karena agama dianggap tidak mampu mengakomodir kebebasan kreatifitas intelektual, sehingga terjadi berbagai pembelotan terhadap agama yang akhirnya memuncak pada sekulrisme di mana agama dijadikan musuh (rival) paling besar terhadap kemajuan sebuah peradaban. Sehingga agama ditinggalkan dan Tuhan mereka dekonstruksi dengan rasionalitas mereka yang berakibat terhadap pembunuhan Tuhan.
Kegagalan agama di “Barat” yang tidak mampu menahan terjangan modernisasi tersebut menimbulkan berbagai kekecewaan dan ketidakpuasan bagi para penganutnya. Hal ini tercermin dengan adanya sebuah statemen dari dua futurolog John Neisbitt dan Patricia Aburdance “Spirituality yess, Organized Religion No” yang secara terang-terangan menolak keberadaan agama-agama formal karena telah gagal menolong manusia yang tercebur kedalam kubangan materialisme-sekularisme-ateistik. Dan selanjutnya memberikan rekomendasi moral terhadap munculnya gerakan-gerakan spiritual semacam gerakan kultus, seperti Unification Church, Devine Ligth Mission, Hare Krishna, The Way, People Temple, Yahweh ben Yahweh, Children of God, Baghawan Shri Rajneesh, dan sebagainya.63
Munculnya aliran-aliran spiritual di zaman modern bertujuan untuk mengisi sumur-sumur yang kering dari aspek-aspek kesucian transenden yang selama ini telah terkuras habis oleh orientasi kehidupan dunia an sich, dan meninggalkan nilai-nilai luhur ketuhanan. Akan tetapi akhir-akhir ini terbukti juga gagal menyirami kekeringan spiritualnya, karena secara tidak langsung telah mendistorsi nilai-nilai universal agama samawi (revealed religion) yang merupakan agama yang diturunkan Tuhan sebagai petunjuk bagi manusia.
Manusia memang memiliki potensi kebenaran dan menuju jalan yang lurus (hanif) karena itu merupakan fitrah manusia. Akan tetapi perlu diingat bahwa manusia juga memiliki potensi kejelekan (QS. al-Nas: 6). Maka ketika manusia dibimbing oleh nilai-nilai holistic ketuhanan, kemungkinan besar manusia tersebut akan menjadi pribadi-pribadi yang baik, yang selanjutnya akan menjadi masyarakat yang baik (masyarakat madani, civil society). Begitu juga sebaliknya, sekularisme akan membawanya kepada kemajuan material duniawi, akan tetapi mengalami krisis mental-spiritual. Wallahu a’lam bisshawab

Selengkapnya....

24 Agustus, 2008


Ramadhan Sebagai Kapitalisme Spiritual
(Refleksi Kritis-Analitis Aktualisasi Nilai Keagamaan)
oleh: Moch. Muslih

Dikala matahari terbenam di ufuk barat, hiruk-pikuk manusia berlalu lalang, sebabkan kegelisahan jiwa-jiwa yang menunggu pergantian malam menuju pagi, pergantian hari dari bulan Sya’ban menuju bulan Ramadhan. Lalu apakah gerangan yang menyebabkan sebegitu dahsyatnya kegelisahan jiwa-jiwa tersebut menunggu pergantian Sang Bulan dan seberapa istimewakah Ia sehingga seluruh Jagad Semesta mengagung-agungkan Sang Tamu Agung. Yang jelas tak lain dan tak bukan karena Ramadhan memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga seluruh manusia bertasbih dan mentashihkan Bulan penuh berkah dan penuh Rahmat tersebut.


Berbagai potret dan kegiatan Ramadhan dari tahun ke tahun telah menghiasi pentas sejarah peradaban manusia. Dari ritual tarawih hingga tadarus Al-Quran di samping ibadah puasa sebagai aktifitas utama, bahkan berbagai kebutuhan pokok telah dipersiapkan sedemikian mewah yang disaji untuk hidangan sahur dan buka puasa. Dus diimbangi pula dengan maraknya demontrasi yang mengatasnamakan “Anti Kemaksiatan” mulai dari disegelnya tempat-tempat hiburan, operasi dan penggrebekan prostitusi, razia VCD porno serta razia minuman keras dan narkotika. Tak kalah menarik pula, hampir seluruh media komunikasi dan informasi secara latah menyajikan tayangan-tayangan bernuansa agamis, hal ini dapat kita lihat pada kemasan iklan atau produk-produk berlebelkan “Ramadhan”, sampai kepada background dan model iklan yang berbusana “Islami”, diantara banyaknya tayangan-tayangan lain yang diobsesikan untuk memeriahkan suasana Ramadhan. Tak hanya berhenti di situ, menjelang saat-saat berkhirnya Ramadhan, di antara sekian banyak manusia telah berambisi untuk menjadi “Hamba Tuhan Sejati” dengan membuktikan diri secara rela dan bersusah-payah menambah frekwensi ritual mereka, memenuhi panggilan berkah malam Lailatul Qadar, (malam yang lebih baik ari seribu bulan) dengan harapan mendapatkan seonggok pahala sebagai suku cadang kebajikan selama 83 tahun, begitu halnya tatkala detik-detik berakhirnya Ramadhan, fenomena hiruk-pikuk para tetangga yang saling bersilaturrahmi, tukar menukar kue, selamatan dan Hari Raya ketupat sampai kepada trend membeli baju baru merupakan tradisi masyarakat dari pintu ke pintu saat menjelang atau berakhirnya bulan Ramadhan.
Sekilas memang, sepintas lalu Ramadan seakan-akan memberikan kesan yang lebih bahkan padat penghargaannya, karena dalam durasi satu bulan penuh, seluruh manusia terobsesi untuk mengapresiasi bulan Ramadhan dengan segenap suka cita baik secara materil atau spiritual dan bahkan bulan tersebut dimitoskan mampu meluluh-lantakkan pernik-pernik kebiadaban dosa-dosa ummat manusia dari yang lampau, sekarang dan yang akan datang. Disinilah sebenarnya akan diuji sejauh mana apresiasi keagamaan kita berdasarkan kesadaran kritis (critical consiousness) dan tidak lagi berdasarkan kesadaran magic yang dogmatis (magical-dogmatic consiousness), karena apa yang seharusnya ada (das sein) dan apa yang serharusnya terjadi (das solen) adalah tentang bagaimana apresiasi keagamaan ummat manusia (khususnya ummat Islam) mampu melahirkan nilai spirit kesejarahan manusia dalam menghantarkan citra kediriannya sebagai Insan Taqwa, mengingat perintah Tuhan dalam melaksanakan ibadah puasa – sebagaimana termaktub di dalam al-Quran (al-Baqarah : 183) – bertujuan agar kita mampu mencapai kualitias ketaqwaan yang tinggi, dan pada saat itulah maka kata-kata “Taqwa” harus diterjemahkan dalam ranah kedaulatan ruang dan waktu yang tidak terbatas, karena pesan nabi: “bertaqwalah kalian di mana saja kalian berada dan imbangilah keburukan itu dengan perbuatan yang baik dan bergaullah dengan manusia di sekelilingmu dengan akhlak yang baik”. Maka di sini yang dimaksud bukanlah hanya formula keagamaan atau doktrinasi pemahaman yang ditawarkan, akan tetapi secara prinsipil bagaimana sikap keagamaan atau religiusitas kita tidak hanya mentashihkan budaya akhir tahun tersebut, sehingga dalam pandangan mendasar adalah sampai di mana kesanggupan kita sebagai ummat Islam yang telah ditempa selama 30 hari tidak hanya berhenti pada bulan Ramadhan, tetapi mampu melanjutkan 11 bulan berikutnya.
Dalam perspektif yang berbeda, mungkin selaras dengan analisa Herbert Marcuse pada tahun 1970-an mengenai karakter sosio-kultur masyarakat industri kapitalis yang terkena syndrome gejala weekend atau budaya “akhir pekan”, di mana identifikasi karakter manusia ditandai dengan ketidak mampuannya untuk berdaulat atas ruang dan waktu. Hari-hari dalam sepekan yang seharusnya diperlakukn seproporsional mungkin, hilang dalam sekejab untuk memenuhi kenikmatan sesaat. Para pekerja sibuk mengumpulkan uang, para birokrat menyelesaikan dinas keseharian mereka dan seterusnya, dengan satu maksud untuk berlibur dan demi kenikmatan sesaat di akhir pekan. Inilah yang disebut sebagai “Masturbasi Budaya”. Mungkin menjadi tidak akan berbeda bila halnya Ramadhan diperlakukan dalam konstruksi gejala weekend di atas dan sebagai ilustrasi, yang akan terjadi adalah:
Pertama: kecenderungan “eforia” masyarakat di bulan Ramadhan (hedonism life-style), menjadikan mereka bergaya hidup hedonis dan ummat yang hobi berbelanja (shopolic), di mana para suami sibuk bekerja siang malam, mengumpulkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sementara sang istri pun dengan tak kalah sibuknya menghabiskan uang belanja untuk membeli kebutuhan yang serba baru dan serba wah…, dan pengeluaran yang seharusnya menjadi lebih efisien – dikarenakan kebutuhan hidup menjadi sedikit terkurangi dengan adanya ibadah puasa di bulan Ramadhan – menjadi membludak lebih besar daripada pemasukan (income) yang didapat dikarenakan gejala eforia di atas. Alangkah indahnya bilamana kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa diperlakukan seproporsional mungkin, dalam konteks itulah seharusnya ibadah puasa dapat melatih jiwa kepekaan sosial kita dalam menyantuni fakir miskin, anak yatim dan terlentar, serta orang-orang jompo. Mengingat bahwa kondisi obyektif masyakat kita dalam konteks ekonomi misalkan 60% dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, berada dalam garis kemiskinan dan 20% dari 60% hidup dalam kemiskinan absolut. Dalam aspek pendidikan, diperkirakan kader bangsa kita semakin hari dari waktu ke waktu tidak lagi bertambah sumber daya manusianya, belum lagi berbicara mengenai HAM, hukum, politik dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sebagai kearifan anak bangsa mereka telah menunggu uluran tangan saudara-saudaranya yang mampu, dan bahwasanya zakat fitrah adalah pendidikan di bulan suci Ramadhan agar kita lebih memiliki jiwa peka sosial dan gemar dalam berinfaq, beramal dan bershadaqah.
Kedua: spirit atau semangat religiusitas ummat yang musiman karena sesungguhnya Ramadhan yang mendapatkan porsi yang lebih dan padat daripada bulan-bulan selain Ramadhan tidaklah harus dipahami sebagai yang menyediakan konstruksi ruang dan waktu secara istimewa dalam kaitannya dengan ibadah seperti puasa., zakat dan lain sebagainya. Karena apalah arti segala aktifitas ritual peribadatan yang hanya dilaksanakan secara temporal, begitu halnya dengan semangat suci yang mengatasnamakan “anti kemaksiatan” walaupun dengan maksud sekedar menghormati bulan suci Ramadhan jikalau sesudahnya, kembali pintu-pintu kemaksiatan dibuka selebar-lebarnya. Dan menjadi tidak bermakna, segala sosialisasi dan sanjungan terhadap bulan suci Ramadhan yang disebarkan melalui media massa dan lain sebagainya, jikalau ceremonial Ramadhan tak ubahnya “Reality Show” yang dinikmati sekedar untuk memuaskan kebutuhan Konsumen Pertelivisian dan media massa lainnya sehingga acapkali tampilan budaya yang sangat paradoks ini kita masukkan dalam kolong masturbasi religius ataupun kapitalisme spiritual. Oleh karena itu, berbagai tuntunan amal kebajikan dari Tuhan dalam pesan suci-Nya dan segala kemampuan kita untuk menjalankannya sepatutnya tidak tereksploitasi oleh ruang dan waktu dan karenanya jadikanlah bulan Ramadhan ini sebagai wahana aktualisasi diri untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Sebagai renungan, pernah suatu kali Amirul Mukminin Kholifah Umar Ibn Al-Khattab berujar: “sesuatu yang aku takutkan kelak menimpa ummatku di akhir zaman nanti adalah banyaknya orang sholeh yang hidup dalam komunitas orang-orang yang dzalim tetapi mereka tidak berdaya guna (tak mampu berbuat apa-apa), sementara di sisi lain banyak orang dzalim yang hidup di tengah komunitas orang-orang yang sholeh dan mereka menjadi penguasa yang lalim, tiran yang haus darah serta konglomerat-konglomerat lintah darat”. Pesan ini sekiranya memberikan semacam “Warning” bahwasanya menjadi insan taqwa tidak cukup hanya kompetisi spiritual yang qualified, tetapi lebih dari itu, ia mampu menjadi penentu perubahan (trend setter) di manapun dan kapanpun ia berada apatah lagi di tengah bergejolaknya krisi-krisi multidimensi terutama krisis moral, bukankah Rasul menyatakan bahwasanya mukmin yang kuat, lebih berharga daripada mukmin yang lemah dalam arti yang lebih spesifik: “sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat untuk manusia lain (sholeh berdayaguna)”.

Selengkapnya....
Template by : kendhin x-template.blogspot.com